1. Definisi
Kata autis berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri yang ditujukan pada seseorang yang menunjukkan gejala "hidup dalam dunianya sendiri". Pada umumnya penyandang autisma mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan situasi atau malahan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial (pandangan mata, sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya).
Pemakaian istilah autis kepada penyandang diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Austistic Disturbance of Affective Contact) pada tahun 1943 berdasarkan pengamatan terhadap 11 penyandang yang menunjukkan gejala kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang tidak biasa dan cara berkomunikasi yang aneh.
2. Penyebab
Penyebab autis belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli menyebutkan autis disebabkan karena multifaktorial. Beberapa peneliti mengungkapkan terdapat gangguan biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh gangguan psikiatri/jiwa. Ahli lainnya berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh karena kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis.
Beberapa teori yang didasari beberapa penelitian ilmiah telah dikemukakan untuk mencari penyebab dan proses terjadinya autis. Beberapa teori penyebab autis adalah : Genetik (heriditer), teori kelebihan Opioid, teori Gulten-Casein (celiac), kolokistokinin, teori oksitosin Dan Vasopressin, teori metilation, teori Imunitas, teori Autoimun dan Alergi makanan, teori Zat darah penyerang kuman ke Myelin Protein Basis dasar, teori Infeksi karena virus Vaksinasi, teori Sekretin, teori kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut), teori paparan Aspartame, teori kekurangan Vitamin, mineral nutrisi tertentu dan teori orphanin Protein: Orphanin
Walaupun paparan logam berat (air raksa) terjadi pada setiap anak, namun hanya sebagian kecil saja yang mengalami gejala autism. Hal ini mungkin berkaitan dengan teori genetik, salah satunya berkaitan dengan teori Metalotionin. Beberapa penelitian anak autism tampaknya didapatkan ditemukan adanya gangguan metabolisme metalotionin.
Metalotionon adalah merupakan sistem yang utama yang dimiliki oleh tubuh dalam mendetoksifikasi air raksa, timbal dan logam berat lainnya. Setiap logam berat memiliki afinitas yang berbeda terhada metalotionin. Berdasarkan afinitas tersebut air raksa memiliki afinitas yang paling kuar dengan terhadam metalotianin dibandingkan logam berat lainnya seperti tenbaga, perak atau zinc.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilaporkan para ahli menunjukkan bahwa gangguan metalotianin disebabkan oleh beberapa hal di antaranya adalah : defisiensi Zinc, jumlah logam berat yang berlebihan, defisiensi sistein, malfungsi regulasi element Logam dan kelainan genetik, antara lain pada gen pembentuk netalotianin.
Perdebatan yang terjadi akhir akhir ini berkisar pada kemungkinan penyebab autis yang disebabkan oleh vaksinasi anak. Peneliti dari Inggris Andrew Wakefield, Bernard Rimland dari Amerika mengadakan penelitian mengenai hubungan antara vaksinasi terutama MMR (measles, mumps rubella ) dan autisme. Banyak penelitian lainnya yang dilakukan dengan populasi yang lebih besar dan luas memastikan bahwa imunisasi MMR tidak menyebabkan Autis. Beberapa orang tua anak penyandang autisme tidak puas dengan bantahan tersebut. Bahkan Jeane Smith seorang warga negara Amerika bersaksi didepan kongres Amerika : kelainan autis dinegeri ini sudah menjadi epidemi, dia dan banyak orang tua anak penderta autisme percaya bahwa anak mereka yang terkena autis disebabkan oleh reaksi dari vaksinasi.
Penelitian dalam jumlah besar dan luas tentunya lebih bisa dipercaya dibandingkan laporan beberapa kasus yang jumlahnya relatif tidak bermakna secara umum. Namun penelitian secara khusus pada penyandang autis, memang menunjukkan hubungan tersebut meskipun bukan merupakan sebab akibat.
Banyak pula ahli melakukan penelitian dan menyatakan bahwa bibit autis telah ada jauh hari sebelum bayi dilahirkan bahkan sebelum vaksinasi dilakukan. Kelainan ini dikonfirmasikan dalam hasil pengamatan beberapa keluarga melalui gen autisme. Patricia Rodier, ahli embrio dari Amerika bahwa korelasi antara autisme dan cacat lahir yang disebabkan oleh thalidomide menyimpulkan bahwa kerusakan jaringan otak dapat terjadi paling awal 20 hari pada saat pembentukan janin. Peneliti lainnya, Minshew menemukan bahwa pada anak yang terkena autisme bagian otak yang mengendalikan pusat memory dan emosi menjadi lebih kecil dari pada anak normal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa gangguan perkembangan otak telah terjadi pada semester ketiga saat kehamilan atau pada saat kelahiran bayi.
Karin Nelson, ahli neorology Amerika mengadakan menyelidiki terhadap protein otak dari contoh darah bayi yang baru lahir. Empat sampel protein dari bayi normal mempunyai kadar protein yang kecil tetapi empat sampel berikutnya mempunyai kadar protein tinggi yang kemudian ditemukan bahwa bayi dengan kadar protein otak tinggi ini berkembang menjadi autis dan keterbelakangan mental. Nelson menyimpulkan autis terjadi sebelum kelahiran bayi.
Saat ini, para pakar kesehatan di negara besar semakin menaruh perhatian terhadap kelainan autis pada anak. Sehingga penelitian terhadap autism semakin pesat dan berkembang. Sebelumnya, kelainan autis hanya dianggap sebagai akibat dari perlakuan orang tua yang otoriter terhadap anaknya. Kemajuan teknologi memungkinkan untuk melakukan penelitian mengenai penyebab autis secara genetik, neuroimunologi dan metabolik. Pada bulan Mei 2000 para peneliti di Amerika menemukan adanya tumpukan protein didalam otak bayi yang baru lahir yang kemudian bayi tersebut berkembang menjadi anak autis. Temuan ini mungkin dapat menjadi kunci dalam menemukan penyebab utama autis sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahannya.
3. Manifestasi Klinis
Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang komunikasi, gangguan dalam bermain, bahasa, perilaku, gangguan perasaan dan emosi, interaksi sosial, perasaan sosial dan gangguan dalam perasaan sensoris.
Empat (4) dari 12 kasus, ibu yang menderita flu pada awal atau pertengahan masa kehamilan, terdapat dua janin yang mengalami kekurangan oksigen pada waktu kelahiran, dan 6 kasus lain penyebabnya tidak diketahui.
Pada banyak kasus, seorang bayi autis tidak akan terlihat gejala apapun mulai dari kelahiran sampai berumur 18 bulan. Mulai dari 18 bulan sampai 36 bulan bayi autis mulai memperlihatkan keterlambatan perkembangannya. Contoh perilakunya sebagai berikut :
• Cepat melupakan kata-kata yang baru dipelajari
• Mengulangi kata-kata yang sama
• Terlihat mudah bosan atau kurang memperhatikan
• Seringkali mengulang perbuatan yang berbahaya
• Tidak membalas sapaan
• Sangat minim melakukan kontak mata
• terkadang suka menyakiti diri sendiri
• Menolak makan dan melempar benda-benda
• Mengalami gangguan tidur
Gangguan dalam komunikasi verbal maupun nonverbal meliputi kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan kata kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan.Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat. Kata-kata yang tidak dapat dimengerti orang lain ("bahasa planet"). Tidak mengerti atau tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai. nEkolalia (meniru atau membeo), menirukan kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya. Bicaranya monoton seperti robot. Bicara tidak digunakan untuk komunikasi dan imik datar.
Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak senang atau menolak dipeluk. Bila menginginkan sesuatu, menarik tangan tangan orang yang terdekat dan berharap orang tersebut melakukan sesuatu untuknya. Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain. Saat bermain bila didekati malah menjauh. Bila menginginkan sesuatu ia menarik tangan orang lain dan mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.
Gangguan dalam bermain diantaranya adalah bermain sangat monoton dan aneh misalnya menderetkan sabun menjadi satu deretan yang panjang, memutar bola pada mainan mobil dan mengamati dengan seksama dalam jangka waktu lama. Ada kelekatan dengan benda tertentu seperti kertas, gambar, kartu atau guling, terus dipegang dibawa kemana saja dia pergi. Bila senang satu mainan tidak mau mainan lainnya. Tidak menyukai boneka, tetapi lebih menyukai benda yang kurang menarik seperti botol, gelang karet, baterai atau benda lainnya Tidak spontan / reflek dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura pura. Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar atau angin yang bergerak. Perilaku yang ritualistik sering terjadi sulit mengubah rutinitas sehari hari, misalnya bila bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila bepergian harus melalui rute yang sama.
Gangguan perilaku dilihat dari gejala sering dianggap sebagai anak yang senang kerapian harus menempatkan barang tertentu pada tempatnya. Anak dapat terlihat hiperaktif misalnya bila masuk dalam rumah yang baru pertama kali ia datang, ia akan membuka semua pintu, berjalan kesana kemari, berlari-lari tak tentu arah. Mengulang suatu gerakan tertentu (menggerakkan tangannya seperti burung terbang). Ia juga sering menyakiti diri sendiri seperti memukul kepala atau membenturkan kepala di dinding. Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam), duduk diam bengong dengan tatap mata kosong. Marah tanpa alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya sendiri. Gangguan kognitif tidur, gangguan makan dan gangguan perilaku lainnya.
Gangguan perasaan dan emosi dapat dilihat dari perilaku tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah tanpa sebab nyata. Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum), terutama bila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum)bila keinginannya tidak didapatkannya, bahkan bisa menjadi agresif dan merusak.. Tidak dapat berbagi perasaan (empati) dengan anak lain.
Gangguan dalam persepsi sensoris meliputi perasaan sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah) dari mulai ringan sampai berat. Menggigit, menjilat atau mencium mainan atau benda apa saja. Bila mendengar suara keras, menutup telinga. Menangis setiap kali dicuci rambutnya. Meraskan tidak nyaman bila diberi pakaian tertentu. Tidak menyukai rabaan atau pelukan, Bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari pelukan. Tidak menyukai rabaan atau pelukan, Bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari pelukan.
Menegakkan diagnosis autis memang tidaklah mudah karena membutuhkan kecermatan, pengalaman dan mungkin perlu waktu yang tidak sebentar untuk pengamatan. Sejauh ini tidak ditemukan tes klinis yang dapat mendiagnosis langsung autis. Diagnosis Autis hanyalah melalui diagnosis klinis bukan dengan pemeriksaan laboratorium. Gangguan Autism didiagnosis berdasarkan DSM-IV. Banyak tanda dan gejala perilaku seperti autis yang disebabkan oleh adanya gangguan selain autis. Pemeriksaan klinis dan penunjang lainnya mungkin diperlukan untuk memastikan kemungkinan adanya penyebab lain tersebut.
4. Terapi Terkini
a. Diet Susu Sapi dan Terigu
Susu sapi mengandung protein kasein sedangkan terigu mengandung protein gluten. Menurut Rudy, tubuh anak-anak autis tidak bisa mencerna kasein dan gluten secara sempurna. Uraian senyawa yang tidak sempurna masuk ke pembuluh darah dan sampai ke otak sebagai morfin. Ini terbukti dengan ditemukannya kandungan morfin yang bercirikan kasein dan gluten pada tes urine anak-anak autisme. Keberadaan morfin jelas mempengaruhi kerja otak dan pusat-pusat saraf sehingga anak berprilaku aneh dan sulit berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini menjadi dugaan penyebab anak autis terlihat morfinis (kadang-kadang bisa berinteraksi dengan lingkungannya tapi hanya sementara). Dengan diet kasein dan gluten dapat meminimalkan gangguan morfin dan merangsang kemampuan anak menerima terapi ABA.
b. Terapi Kartun
Sebuah proyek telah diluncurkan di Inggris untuk membantu sekelompok anak-anak penderita autis lebih memahami emosi atau perasaan manusia. Proyek tersebut menggunakan film kartun yang dinarasikan oleh aktor Stephen Fry untuk membantu mengajarkan anak-anak tersebut mengenai ekspresi wajah. Para penderita autisme sering kesulitan untuk mengenali dan memahami perasaan dan untuk melihat mata lawan bicaranya.
Denis Murphy (6 tahun) adalah salah satu anak yang ikut serta dalam percobaan tersebut. Setelah beberapa waktu, keluarganya mulai melihat terjadinya perubahan dalam diri Denis. Seperti seorang anak autis pada umumnya, ia sangat menyenangi kereta dan mobil. Tetapi, ia kesulitan untuk terhubung dengan emosi manusia.
Hal itu mungkin dikarenakan kendaran memiliki gerakan yang lebih mudah diperkirakan, sedangkan manusia tidak dapat diperkirakan. Seri animasi DVD itu dinamai The Transporters. Berkaitan dengan ketertarikan anak autis terhadap kendaraan, animasi tersebut menggambarkan wajah manusia pada gambar kartun kendaraan.
Proffesor Simon Baron-Cohen adalah direktur dari Pusat Penelitian Autisme (Autism Research Centre) di Universitas Cambridge menganggap bahwa cara ini untuk mengatasi ketakutan anak autis saat melihat wajah orang, sehingga mereka dapat mulai belajar mengenai bagaimana ekspresi bisa muncul. Hal ini juga merupakan cara untuk mempermudah mereka membaca wajah.
Anak diminta untuk menonton selama 15 menit setiap hari sepanjang penelitian yang berlangsung selama 4 minggu. Setiap episode memperkenalkan sebuah emosi baru, seperti kebahagiaan, kemarahan, ketakutan, kebaikan dan kebanggaan. Tayangan itu juga termasuk kuis interaktif yang membantu anak-anak untuk mempelajari emosi.
Bagi orang tua yang anaknya sangat tidak tertarik pada emosi atau tidak dapat mengenalinya dengan baik, sangat menyenangkan untuk melihat mereka mulai memahami sisi kehidupan yang satu itu. Para orang tua menggambarkan hasil penelitian tersebut seperti memfungsikan sebuah tombol di dalam kepala anak-anak mereka .
Profesor Baron-Cohen berkata bahwa di akhir periode penelitian (4 minggu), terjadi perkembangan sebanyak 52% pada kemampuan anak-anak untuk mengenali dan menjelaskan emosi. Mereka telah mencapai tingkatan yang sama sebagaimana anak yang berkembang pada umumnya pada tes pengenalan emosi. Hasil tersebut merupakan pendahuluan, tetapi merupakan hasil yang sangat menggembirakan bahkan dalam jangka waktu yang sangat singkat, anak dengan autisme dapat memandang wajah (lawan bicaranya atau orang lain) dan mulai menyatakan informasi yang sesuai..
Animasi DVD tersebut dibuat dibawah Departemen Kebudayaan, Media dan Olah Raga dan saat ini diberikan kepada sekitar 30.000 keluarga yang memiliki anak penderita autis yang berusia 2-8 tahun. Lebih banyak tes lagi sedang direncanakan, dan masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa hasil penelitian tersebut memiliki keuntungan jangka panjang. Tetapi, para peneliti berharap mereka dapat membuat suatu perbedaan yang jelas bagi hidup anak-anak penderita autis.
c. Dolphin Therapy
Selama berabad-abad, dolphin dikenal sebagai mahluk yang cerdas dan baik hati. Cerita mengenai kepahlawanan mereka menolong perenang-perenang yang kecapaian sudah ada sejak zaman dahulu.
Para dokter saat ini mencoba memakai dolphin untuk terapi bagi anak dengan kebutuhan khusus. Anak-anak ini suka berada dalam air yang hangat, menyentuh tubuh dolphin dan mendengar suara-suara yang dikeluarkan oleh dolphin-dolphin tersebut.
Dalam 2 dekade terakhir ini beberapa terapis dan psikolog berpendapat bahwa berenang dengan dolphin mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan. Beberapa orang bahkan percaya bahwa getaran dolphin dapat menyembuhkan sel manusia.
Para dokter di Dolphin-Human Therapy Center percaya bahwa mahluk yang sangat cerdas ini dapat membantu anak-anak dengan berbagai gangguan saraf, bahkan anak dengan Sindroma Down dan autisme.
Anak-anak ini demikian menyukai berenang dengan dolphin, sehingga hal tersebut dipakai sebagai "reward" untuk anak yang memberi respons yang baik pada terapi perilaku, misalnya pada terapi metoda ABA.
Laporan dari berbagai negara menunjukkan bahwa faktor interaksi itulah yang mempunyai efek yang positif terhadap manusia. Salah satu teori mengemukakan bahwa getaran sonar dolphin yang unik dapat mengindentifikasi gangguan saraf pada manusia, lalu menenangkannya sehingga lebih mudah bisa menerima pelajaran dan penyembuhan.
Namun banyak pula para ilmuwan yang berpendapat bahwa anak-anak hanya menyukai bersentuhan dengan dolphin, dan berenang dengan dolphin hanya merupakan suatu rekreasi saja.
Suatu penelitian dilakukan di Dolphin-Human Therapy Center di Key Largo, Florida. David Cole, seorang ilmuwan dalam bidang neurology menciptakan alat khusus untuk mengukur efek dari dolphin pada otak manusia. Cole mendapatkan bahwa ada suatu perubahan faali bila manusia berinteraksi dengan dolphin. Setelah berinteraksi dengan dolphin didapatkan bahwa anak-anak tersebut menjadi lebih tenang. Banyak peneliti berpendapat bahwa relaksasi inilah yang merupakan penyebab keberhasilan dolphin therapy. Menurut beberapa peneliti, relaksasi merangsang system kekebalan tubuh.
Cole mempunyai teori yang lain. Menurutnya energi dari dolphin bisa menimbulkan suatu phenomena "cavitasi" (pembuatan lubang). Energi tersebut dapat membuat robekan, bahkan lubang pada struktur molekuler dan tissue yang lembut. Cole percaya bahwa hal ini bisa merubah metabolisme selular, dan terjadi pelepasan hormone atau endorphin yang merangsang pembentukan sel-T (system kekebalan). Banyak yang percaya pada teori cavitasi ini, namun banyak pula ilmuwan yang bersikap skeptis.
Meskipun terapi dengan dolphin ini menghasilan beberapa perbaikan yang tidak dapat difahami, namun jangan lupa bahwa hal ini merupakan suatu eksperimentasi saja dan tidak memberikan penyembuhan secara medis.
Banyak bukti bahwa berhubungan erat dengan binatang mempunyai efek yang baik pada manusia, misalnya dengan anjing dan dengan kuda. Menyentuh dan bicara pada binatang bisa mengurangi stress. Berenang dan berinteraksi dengan dolphin merupakan petualangan yang menyenangkan. Dolphin mempunyai tampang yang sangat lucu dan membuat gemas, mereka seolah-olah selalu tersenyum.
Terapi dengan dolphin ternyata membantu kemajuan beberapa anak, namun jangan dianggap itu sebagai penyembuhan.
d. Acupuncture
Dalam riset dan pola pengembangan yng mereka terapkan pada anak didiknya, yang seluruhnya adalah penderita autis, mampu mencapai angka kesembuhan tinggi. Terapi yang diberikan adalah pola terpadu, berupa terapi akupuntur selama 15 menit/hari, ditambah aktivitas berenang dua kali sehari, plus sekolah khusus dengan guru dan pola ajaran bagi penderita autis.
Akupuntur berupa terapi tusuk jarum pada titik-titik syaraf vital di tubuh mampu melancarkan sirkulasi darah dan meningkatkan daya rangsang syaraf, menuju kenormalan. olahraga (terutama berenang) mampu menjadi media penyalur tingkat aktivitas penderita yang hiper dan agresif. Secara perlahan pun terlatih menuju ketenangan. Selanjutnya, sekolah khusus membantu memfasilitasi kegiatan terapi tersebut secara terpadu. Hasilnya, diperoleh perkembangan positif, tingkat hiperaktif dan agresifits menurun,dan fungsi syaraf otak mengalami perbaikan.
Walaupun kesembuhan tidk bisa diperoleh secara drastis, tetap harus sabar dengan terapi yang rutin. Sebagai pendukung keberhasilan terapi ini, penting juga diperhatikan pola makan. Penderita autis pantang makan jenis makanan bercitarasa pedas, asam, dan makanan berkadr lemak tinggi, aplagi karbohidrat berlebih, sebab efeknya tidak bagus terhadap kelancaran sistim syaraf dan peredaran darah.
e. Terapi Oksigen
Dalam beberapa tahun terakhir, para peneliti mengembangkan terapi oksigen hiperbarik (hyperbaric oxygen treatment) untuk mengatasi masalah autisme pada anak. Terapi oksigen hiperbarik ini dilakukan dengan cara memberikan oksigen tekanan tinggi untuk memperbaiki kerja otak.
Pada penderita autisme, terjadi gangguan pada fungsi otak, salah satunya karena kekurangan oksigen sejak lahir atau bahkan selama dalam kandungan. Dengan terapi oksigen inilah kerusakan pada otak bisa diminimalisasi.
Menurut penelitian yang diungkap di jurnal Bio Medical Centre (BMC) Pediatrics, oksigen murni bisa mengurangi inflamasi atau pembekakan di otak dan meningkatkan asupan oksigen di sel-sel otak. Terapi ini dilakukan dengan sebuah alat berupa tabung dekompresi. Penderita autisme masuk ke dalam tabung itu lalu dialiri oksigen murni dan tekanan udara ditingkatkan menjadi 1,3 atmosfer.
Cara ini rupanya cukup efektif. Pemberian terapi oksigen hiperbarik secara rutin menunjukkan perbaikan pada kondisi saraf dan mengatasi cerebral palsy. Terapi ini banyak dipilih di beberapa negara dan para peneliti terus mengembangkannya.
Dan Rossignol dari International Child Development Resource Centre, Florida, AS, melakukan penelitian terhadap 62 penderita autisme berusia 2-7 tahun. Responden diberi terapi oksigen selama 40 menit setiap hari selama sebulan dengan asupan oksigen 24% dan tekanan udara 1,3 atmosfer.
Hasilnya, terjadi peningkatan hampir di seluruh fungsi organ tubuh, seperti sensor gerak, kemampuan kognitif, kontak mata, kemampuan sosial, dan pemahaman bahasa.
Terapi ini ditujukan bukan untuk penyembuhan melainkan tentang kemajuan kondisi dan tingkah laku penderita. Dengan itu anak autis bisa memperbaiki fungsi kerja otak dan kualitas hidupnya. Rossignol sebagai penelitu terapi ini telah membuktikan efektivitas terapi ini pada kedua anaknya yang menderita autisme. Ia mengatakan temuan ini belum berakhir dan masih akan mengembangkan untuk mencari hasil yang lebih optimal.
f. Terapi Antidepresan
Pada sebuah jurnal Syaraf, edisi Maret 23, DeLong menyajikan suatu hipotesis baru mengenai dua pertiga dari anak-anak yang menderita autisme infantil. Kenyataannya anak-anak ini dapat disembuhkan. Ketidakselarasan genetika, merupakan bentuk serangan awal dari depresi yang parah. Argumentasi DeLong berdasarkan analisis genetika terkini, penelitian mengenai perilaku, kimia otak, dan analisis konsep-konsep pada anak-anak autis, melalui penelitian di Universitas Duke dan institut-institut lain.
Penelitian mengenai genetika dan konsep-konsep otak, juga pemeriksaan ulang tentang gejala-gejala klasik dari autism, menunjukkan bahwa banyak anak-anak autis menderita autisme bukan karena keturunan.
Anak-anak yang menderita autism tampil seolah-olah mereka terbelenggu oleh pikiran mereka sendiri, sebab mereka tidak dapat mempelajari bahasa, atau keterampilan sosial yang dibutuhkan di lingkungannya.
Autism nyatanya merupakan spektrum dari ketidakselarasan dengan gejala-gejala yang hampir sama. Anak-anak autis, pada tahun kedua dari kehidupan biasanya kehilangan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang-orang di lingkungannya dan tidak berbicara, atau menggunakan bahasa, walaupun banyak di antara mereka mempunyai intelegensi yang normal.
Ada penderita autism yang disebabkan karena penyakit atau luka di daerah-daerah tertentu di otak, namun kasus yang terbanyak tidak diketahui, disebut sebagai kasus idiopatik. DeLong menyatakan bahwa 70 persen penderita ketidakselarasan yang tidak menyenangkan, seperti keterbelakangan mental atau gangguan pikiran yang menekan, bukan karena keturunan.
De Long sebagai peneliti memperhatikan serlama beberapa tahun bahwa gejala-gejala autism, gejala-gejala tersebut lebih terlihat sebagai depresi dan ketidakselarasan mental. Anak-anak ini tidak memperlihatkan kegembiraan atau kespontanan yang biasanya tampak pada anak-anak normal. Dan mereka sering memperlihatkan secara ekstrim hentakan keinginan, kemarahan dan rasa takut yang berlebihan.
De Long telah menemukan berbagai petunjuk, dari penelitian sekelompok anak autis, yang menderita autis karena ketidakselarasan genetik. Terlihat terjadi hal yang sama pada anak-anak ini, yaitu mereka dapat dirawat dengan pengobatan anti depresi.
Ketika para peneliti mempelajari otak anak-anak yang menderita autism idiopatik, mereka menemukan serotonin neurotransmitter yang sangat rendah di sebelah kiri otak pada daerah penggunaan bahasa. Serotonin juga penting untuk mempengaruhi suasana hati. Pada orang yang menderita depresi klinis, serotoninnya rendah sekali.
Pada perkembangan otak anak-anak, serotonin tidak saja berperan sebagai penerus informasi, tetapi juga sebagai agens (zat, kekuatan) pengembang yang mempengaruhi pertumbuhan otak. Bila peringkat serotonin di belahan otak kiri tidak mencapai peringkat kritis pada awal masa kanak-kanak, orang akan dapat melihat gejala-gejala seperti yang diderita autism: terganggunya perkembangan kemampuan kognitif, sosial dan emosional.
Penelitian terhadap orang-orang dengan otak yang mengalami pembedahan untuk memisahkan hubungan antara belahan otak kiri dan otak kanan, guna menghilangkan gejala-gejala epilepsi, biasanya disebut eksperimen "pemisahan otak", memperlihatkan otak bagian kiri merupakan penggerak keterampilan bahasa dan sebab akibat, sedangkan otak bagian kanan merupakan penggerak keterampilan visual, gerakan tubuh, kemampuan musik dan hafalan. Peringkat serotonin di otak bagian kanan dari sebagian besar anak-anak penderita autism idiopatik keadaannya normal dan keterampilan visual serta gerakan tubuh mereka juga normal. Pada kenyataannya, banyak sarjana autis memperlihatkan jenis kompensasi yang berlebihan pada otak bagian kanannya, yang memberikan kepada mereka kemampuan-kemampuan lebih dalam keterampilan menghitung, matematika, musik atau artistik.
Ketika para peneliti mempelajari anak-anak yang lebih tua dan para remaja yang terdiagnosis sebagai ketidakselarasan mental, mereka menemukan bahwa anak-anak ini mempunyai kemampuan visual dan gerakan tubuh yang lebih besar, namun kemampuan bahasa yang rendah, walaupun tidak sebesar anak-anak autis.
Penemuan-penemuan ini mengarahkan DeLong untuk mencoba merawat anak-anak autis dengan Prozac (fluo-xetine) dan beberapa obat khusus pencegah ter-hambatnya serotonin (SSRls). Obat-obat tersebut merupakan obat untuk merawat depresi, bekerja menambah serotonin dalam otak.
Laporan sebuah penelitian pada bulan Oktober 1998 yang diterbitkan oleh Journal of Developmental Medicine and Child Neurology, DeLong dan kawan-kawan melaporkan bahwa ketika 37 anak-anak autis berusia 3 sampai 7 tahun dirawat dengan Prozac (fluoxetin) selama tiga tahun, 22 dari antaranya merespon baik penggunaan obat tersebut, memperoleh kembali keterampilan berbahasa, kemampuan bersosial meningkat dan gangguan pikiran yang diderita mereka seperti misalnya, terpaku pada satu obyek tertentu selama berjam-jam akan hilang. Dari anak-anak yang merespon baik pengobatan tersebut, semua mempunyai riwayat penyakit depresi mayor dari keluarganya. Menarik untuk mengatakan bahwa autism dan ketidakselarasan mental disebabkan oleh penyebab yang sama, yaitu gen yang cacat dan fakta tentang gen tersebut mulai mengarah ke sana.
Penelitian oleh DeLong dan kawan-kawan di Universitas Duke menunjuk ke gen di suatu tempat pada kromosom 15, sebagai gen autism yang berpotensi. Dan sekarang berbagai penelitian mengenai depresi di berbagai lembaga pendidikan memperlihatkan hasil yang sama yaitu kromosom 15, sebagai gen dari ketidakselarasan mental yang berpotensi. Walaupun belum dapat dipastikan bahwa gen tersebut adalah hanya satu dan sama, namun fakta tersebut memberikan harapan. Penelitian mengenai genetika, memberikan harapan pada diagnosis awal dan perkembangan dari pengobatan khusus yang lebih banyak untuk meningkatkan pengadaan serotonin pada pengembangan otak anak-anak autis bahkan akan menambah harapan bagi perawatan yang efektif bagi penyakit ini.
g. Terapi Pijat Kaki
Penderita autis memiliki urat otot cerebrospinal yang lebih pendek dan kecil, yang merintangi interkoneksi diantara urat-urat syaraf. Pengeluaran sel-sel syaraf yang tidak seimbang semakin memperparah gangguan konduksi dan pengiriman informasi syaraf impuls.
Memijat titik-titik syaraf dikaki untuk memperkuat hubungan dengan sel-sel otak dan memperbaiki fungsi otak. Pada tahap awal pengobatan, udara dingin akan dikeluarkan dari kepala pasien, dan pasien akan secara perlahan akan memperhatikan lingkungan sekitarnya, menyapa dan bertemu orang asing tanpa takut.
Pengeluaran sel-sel syaraf yang tidak seimbang disebabkan oleh kekurangan yin pada urat syaraf tulang belakang. Oleh karena itu, pengobatan pertama adalah mengatur fungsi urat syaraf tulang belakang dan otak, dengan begitu dapat merangsang kemampuan berbahasa, berpikir dan memahami sesuatu.
Pikiran memiliki kecerdasan dan kebijaksanaan serta bergantung pada jing (jiwa) dan qi (energi vital) untuk menopangnya. Kemunduran dalam kecerdasan dan kebijaksaanan pada penderita autis menyebabkan kekacauan pada mentalnya. Kekacauan ini berasal dari kurangnya jing dan qi. Selama pengobatan, saya merangsang titik syaraf jantung yang ada di kaki untuk memperkuat fungsi mental. Dengan begitu mendapat dua kali hasil sekaligus dengan satu usaha, mempercepat perkembangan kecerdasan dan kebijaksanaan, serta meningkatkan pemahaman, kesadaran dan kemampuan berbahasa.
Kebanyakan pada anak-anak autis yang memiliki watak tidak stabil akan menjadi mudah marah, tipe penderita kekurangan yin pada hati. Melalui perbaikan dan perawatan yin pada hati dengan cara pemijatan pada titik syaraf hati dikaki sehingga dapat menyeimbangkan yin pada hati, dan perangai buruk mereka akan berkurang. Setelah terapi ini mereka berubah menjadi lebih stabil. Penderita anak-anak autis yang dirawat melalui cara ini mulai berhenti menangis tanpa sebab, melempar benda-benda dan menyakiti diri sendiri. Mereka juga dapat tidur dengan nyenyak.
Energi pada limpa mengontrol pencernaan. Hal ini erat kaitannya dengan penyerapan nutrisi makanan. Penambahan energi melalui pemijatan titik saraf limpa dapat memperkuat fungsi limpa dan meningkatkan nafsu makan pasien, mempertinggi fungsi pencernaan dan penyerapan. Selama energi yang dibutuhkan untuk perkembangan perbaikan otak berjalan baik, maka pembangunan kembali fungsi otak akan berjalan lancar. Penambahan perawatan pada kerongkongan, lidah dan mulut dapat membantu kemampuan berbahasa dalam kurun waktu selama tiga bulan.
Terapi ini paling bagus dilakukan pada anak-anak usia 4 sampai 5 tahun. Pada usia 3 tahun, kemungkinan hasil diagnosa tidak dapat ditentukan karena usianya terlalu muda untuk diadakan pengobatan. Pasien yang berusia diatas 10 tahun sulit untuk diobati – memakan proses yang lebih lambat dan lama untuk membuahkan hasil yang bagus. Pasien yang berusia diatas 12 tahun akan menunjukkan perkembangan yang sangat lambat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar